A.    Pergaulan dan Pendidikan

1. Faktor-faktor pergaulan

Pergaulan adalah kontak langsung antara satu individu dengan yang lain, atau antara pendidik dan anak didik. Pergaulan merupakan salah satu sarana untuk mencapai hasil pendidikan yang baik.

Di dalam pergaulan tentunya terjadi interaksi antara yang satu dengan yang lainnya, dalam interaksi  tersebut tidak lepas adanya saling mempengaruhi, dalam interaksi yang sepertinya sederhana itu sebenarnya merupakan suatu proses yang cukup komplek, yang dilandasi berbagai faktor psikologi, antara lain :

  1. Faktor Imitasi adalah dorongan untuk meniru orang lain, jadi yang aktif adalah orang yang meniru.
  2. Faktor Sugesti adalah dorongan bagi seseorang untuk melakukan seperti apa yang diharapkan oleh pemberi sugesti.
  3. Faktor Identifikasi adalah faktor yang mendorong untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, yang aktif adalah pihak yang ingin identik.
  4. Faktor Simpati adalah  factor perasaan rasa tertarik kepada orang lain.
    1. Macam-Macam Pergaulan

Menurut siapa yang terlibat dalam pergaulan itu maka pergaulan dapat di bedakan menjadi :

1. Pergaulan anak dengan anak

Pergaulan anak dengan anak tidak dapat dinamakan pergaulan pedagogis karena kekuasaan yang ada pada anak-anak pada teman-temannya tidak bersifat kekuasaan pendidikan karena kekuasaan itu tidak tertuju pada suatu tujuan pedagogis secara disadarinya dan tidak dilakukan dengan sengaja.

2. Pergaulan orang dewasa dengan orang dewasa

Pergaulan antara orang dewasa dan orang dewasa juga tidak disebut pergaulan pendidikan (pergaulan pedagogis) sebab di dalam pergaulan itu orang dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh yang terdapat dalam pergaulan itu

3. Pergaulan anak dengan orang dewasa

Pergaulan pedagogis hanya terdapat antara orang dewasa dan anak (orang yang belum dewasa). Pergaulan itu disebut pergaulan pedagogis jika orang dewasa atau si pendidik sadar akan kemampuannya sendiri dalam tindakannya terhadap anak yang “tidak mampu apa-apa” itu, tetapi di samping itu, ia masih ada percaya bahwa anak memiliki kemampuan untuk membantu dirinya sendiri.

2. Manfaat Pergaulan

Pergaulan mempunyai beberapa manfaat antara lain :

1. Pergaulan memungkinkan terjadinya pendidikan.

Lewat pergaulan itulah dapat diterima kemudian ditirukan oleh anak mengenai bermacam-macam hal, baik itu di sengaja ataupun tidak disengaja yang diberikan oleh orang dewasa disekitar anak kemudian ditirunya.

2. Pergaulan merupakan sarana mawas diri.

Di dalam pergaulan anak mendapatkan pengalaman yang bermacam- macam, dari apa yang dilihat, yang dilakukan oleh orang lain, lalu anak akan membandingkan dengan dirinya sendiri, bisakah saya seperti itu (yang dilakukan oleh orang lain), disinilah terjadi mawas diri yaitu bercermin pada lingkungan sekitarnya.

3. Pergaulan itu bisa menimbulkan cita- cita.

Menurut Freud (Ilmu Jiwa dalam) bahwa tiap individu mempunyai EGO IDEAL : adanya keinginan menjadi dokter, presiden, polisi, teknisi, ahli pidato, guru, dosen dan lainnya, hal ini terjadi akibat pergaulan yang terjadi dengan orang dewasa yang ada disekitarnya.

4. Pergaulan itu memberi pengaruh secara diam – diam.

Anak itu mempunyai sifat suka dan gampang meniru, misalnya saja sikap dan sifat pendidik mempengaruhi pribadi anak sebagai akibat dari pergaulan, pengaruh itu mempunyai kesan yang berarti bagi anak, karena sifat dan sikap pendidik itu oleh pendidik tidak secara sengaja dianjurkan kepada anak didiknya untuk ditiru.  Oleh karena itu pergaulan harus dikontrol agar anak tidak mendapat pengaruh negative dari pergaulan itu. Dan pengontrolan harus dilakukan secara bijaksana  serta memberikan kepercayaan kepada anak didik.

3. Perbedaan Pergaulan dengan Proses Pendidikan

Pergaulan Proses pendidikan
Dengan cara pergaulan sehari-hari, anak merasa dirinya dibawa kepada kedewasaan, pergaulan semacam itulah yang disebut pergaulan pedagogis. Pendidikan adalah usaha sadar orang dewasa dan disengaja serta bertanggung jawab untuk mendewasakan anak yang belum dewasa dan berlangsung terus menerus.

Syarat pergaulan pedagogis adalah :

  1. Di dalam pergaulan itu ada pengaruh yang sedang dilaksanakan.
  2. Ada maksud bahwa pengaruh itu dilaksanakan oleh orang dewasa (dalam berbagai bentuk, misalnya, berupa sekolah, pengajian, buku-buku, pelajaran, dan sebagainya) kepada orang yang belum dewasa.
  3. Pengaruh itu diberikan atau dilaksanakan dengan sadar dan diarahkan pada tujuan yang berupa nilai-nilai atau norma-norma yang baik yang akan ditanamkan dalam diri anak didik atau orang yang belum dewasa.

B.     Mengapa Pendidikan Harus Orang yang Sudah Dewasa?

Mendidik itu terdapat dalam pergaulan atau hubungan antara orang dewasa dan anak. Jadi dalam hal ini ada dua ketentuan :

  1. Si pendidik harus orang yang sudah dewasa sendiri.
  2. Si terdidik harus orang yang belum dewasa, jadi terbatas pada anak-anak saja. Mengapa demikian?

Mendidik ialah memimpin anak menuju arah kedewasaan. Jadi, yang kita tuju dengan pendidikan kita ialah kedewasaan si anak. Tidaklah mungkin pendidik membawa anak-anak kepada kedewasaannya jika pendidik sendiri tidak dewasa. Membawa anak kepada kedewasaannya bukan hanya dengan nasihat atau larangan-larangan saja, melainkan dengan gambaran kedewasaan yang senantiasa dapat dibayangkan oleh anak dalam diri pendidiknya, didalam pergaulan mereka (antara pendidik dan anak didik).

Karena makin majunya masyarakat dan kebudayaan manusia, tidak mungkin lagi pendidikan anak itu diserahkan kepada orang tua saja. Maka dari itu, pendidikan yang seharusnya menjadi tugas dan kewajiban orang tua, menjadi tugas masyarakat dan negara pula, masyarakat dan negara turut “mengambil bagian”.

Sesuai dengan asas pendidikan yang dianut oleh pemerintah dan bangsa Indonesia yakni pendidikan seumur hidup (long life education), maka pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.

C.    Apakah yang dimaksud dengan kedewasaan?

Arti kedewasan kadang-kadang dibedakan menjadi kedewasaan jasmani dan kedewasaan rohani. Pandangan tersebut sebenarnya kurang tepat, dari sudut psikologi Gestalk, manusia itu sebenarnya merupakan suatu individu, suatu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan antara jasmani dan rohaninya. Jadi kita mencoba menguraikan arti kedewasaan itu, tidak akan menguraikan kedewasaan jasmani dan rohani, tetapi kedewasaan manusia sebagai individu.

Jika segala kedewasaan itu kita tinjau, maka tampaklah ciri-cirinya, yaitu sikap tetap dan sikap teratur dan statis jika dibandingkan dengan dinamika pada anak-anak yang selalu menghendaki dan mengalami perubahan.

Sebenarnya, pada orang dewasa ada pula gejala-gejala yang dinamis tetapi dalam arti yang tidak plastis. Orang dewasa itu benar-benar mengetahui siapa dirinya dan apa yang diperbuat, baikkah atau burukkah itu. Jadi, menjadi dewasa dan kedewasaan itu mempunyai arti kesusilaan juga. Ia mau  mempertanggungjawabkan keadaannya dan segala perbuatannya.

Dalam perkembangan anak menjadi dewasa, melalui masa peralihan yang disebut pubertas. Setelah masa pubertas dan adolosensi dilalui, ia telah menjadi dewasa. Padanya pernah terdapat keselarasan antara jasmani dan rohaninya. Kepribadiannya, baik psikis maupun moral telah menjadi stabil.

Orang dewasa sadar akan stabilitas dan kestabilan itu. Ia benar-benar tau siapa dirinya apa yang dapat dan tidak dapat dikerjakannya.

Perbandingan antara gejala-gejala keanakan dan gejala kedewasaan sebagai berikut :

Anak-anak Dewasa
Mencari bentuk Menampak diri sebagai bentuk
Tak mempunyai ketetapan Beranggapan mempunyai ketetapan
Tak ada kemerdekaan Merdeka
Sangat mudah terpengaruh Tau mengambil dan menentukan jalan
Memerlukan bantuan Membantu
Kelihatan mudah berubah Tetap,stabil

D.    Mendidik ialah memimpin anak

Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri, tumbuh sendiri; tetapi di dalam keaktifannya itu ia harus dibantu dan dipimpin. Tanpa pimpinan, anak akan tumbuh ke arah pemuasaan dorongan nafsu, yang sudah tentu banyak bertentangan dengan apa yang berlaku dan dikehendaki oleh masyarakat.

Dalam hal ini ada dua pendirian yang bertentangan   :

1. Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon)

Tabula rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain “kosong”, dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.

Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet ot white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan dan lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.

Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.

Umumnya para pendukung pandangan tabularasa akan melihat bahwa pengalamanlah yang berpengaruh terhadap kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan.

2. Teori Nativisme (Schopenhauer)

Tokoh Teori Nativisme adalah Schopenhauer. Ia adalah filosof Jerman  yang hidup pada tahun 1788-1880. Teori ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh factor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri.

Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan. Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat orangtuanya. Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai  pada titik maksimak kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang akan melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai setengah kemampuan orangtuanya.

Didalam teori ini menurut G. Leibnitz:Monad “Didalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan memiliki tujuan-tujuan Teori Nativisme, seperti :

a. Mampu memunculkan bakat yang dimiliki

Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya.

b. Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi

Jadi dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain.

c. Mendorong manusia dalam menetukan pilihan

Adanya teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.

d. Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang

Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimiliki agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.

e. Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki

Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, denga artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan baakatnya sehingga bisa lebih optimal.

E.     Negara dan Pendidikan

Negara mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagi warga negaranya sesuai dengan dasar-dasar dan tujuan Negara itu sendiri, yaitu mengatur kehidupan umum sehingga menadi bantuan bagi pendidikan keluarga dan menjegah hal-hal yang merugikan perkembangan anak untuk mencapai kedewasaanya.

Disetiap bangsa mempunyai system pendidikan nasional. System pendidikan Indonesa disusun berlandaskan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia.

Pendidikan nasional memiliki tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam UU RI No.2 th 1989 pasal 3, yaitu :

  1. Terwujudnya bangsa yang cerdas
  2. Manusia yang utuh, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
  3. Berbudi pekerti luhur
  4. Terampil dan berpengetahuan
  5. Sehat jasmani dan rohani
  6. Berkepribadian yang baik
  7. Bertanggung jawab pada kemasyarakatan dan kebangsaan

Ini berarti bahwa tujuan pendidikan nasional menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kurikulum masing-masing satuan pendidikan. Dimana kurikulum menjembatani tujuan tertentu dengan praktek pengalaman belajar riil di lapangan atau sekolah.

Dalam TAP MPR No.IV/MPR/1973 s.d. TAP MPR RI No. II/MPR/1993 dengan jelas dikemukakan program umum pembaruan dan pembangunan pendidikan. Program utama pembaruan dan pembangunan pendidikan yaitu:

  1. Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
  2. Peningkatan mutu pendidikan
  3. Peningkatan relevansi pendidikan
  4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pendidikan
  5. Pengembangan kebudayaan
  6. Pembinaan generasi muda

Oleh karena itu, Negara dan pendidikan sangat berhubungan erat. Negara harus berusaha dan member kesempatan supaya warga Negara dan sebagai anggota bangsa yang mempunyai tingkat perkembangan jasmani dan rohani yang cukup, yang diperlukan untuk kesejahteraan umum, dan tidak bertentangan dengan tujuan pendidkan yang berlaku di Negara yang bersangkutan.